KARANGMOJO, (KH) — Menurut penelitian, keberadaan warisan budaya wayang beber yang asli diyakini hanya ada dua, pertama berada di daerah Pacitan dan satunya lagi di Padukuhan Gelaran Desa Bejiharjo Kecamatan Karangmojo Gunungkidul.
Rubiyem adalah penyimpan sekaligus ahli waris seperangkat kesenian kuno berupa ampok atau kotak berisi gulungan kain bergambar yang lebih populer disebut wayang beber, Ia mengaku sebagai pewaris generasi ke-15 dari benda yang termasuk dalam kategori benda cagar budaya tersebut.
Didampingi Wisto Utomo putranya saat ditemui di rumah, Rubiyem menuturkan, sebelum warisan tersebu sampai kepadanya secara turun temurun, ia dan pendahulunya hanya mampu mengingat 9 nama keturunan termasuk dirinya. Nama-nama itu adalah Ki Guno Perwito, Guno Setiko, Guno Kromo, Guno Reso, Guno Karyo, Wono Dikromo, Kromo Sentono, Sapartono, baru kemudian Rubiyem.
Sementara itu Wisto menjelaskan, wujud wayang beber adalah berupa gambar atau lukisan pada lembaran yang terbuat dari kulit tanaman, dan dimainkan oleh seorang dalang. “Dengan bantuan penunjuk gambar berupa kayu kecil sepanjang 1 meter, dalang menceritakan isi atau urut-urutan cerita dari lukisan yang dibentangkan,” ujarnya Minggu, (7/12/2014).
Wayang beber warisan kakeknya tersebut bernama Wayang Beber Kyai Remeng Mangunjaya. Dalam satu kotak terdapat delapan gulungan. Empat gulungan berisi cerita perjalanan cinta Panji Asmara Bangun dan Galuh Candrakirana yang berasal dari kisah Babad Kediri.
Pada salah satu gulungan lain, diperkirakan merupakan penggalan cerita Joko Tarub. Satu gulungan lagi tidak diketahui, sedangkan dua gulungan sisanya, atas wasiat leluhur tidak boleh dibuka dengan alasan yang belum diketahui. Sampai saat ini Rubiyem maupun trah keluarganya tidak berani membukanya.
Menurut cerita turun temurun yang diterimanya, wayang beber mempunyai buku cerita pakem untuk memainkannya. Rubiyem menerima cerita dari pendahulunya, bahwa saat zaman penjajahan Belanda Ki Kromo Sentono diminta untuk pentas di Kepatihan Solo, namun buku pakem tersebut hilang di sana waktu itu.
“Katanya dibawa orang Belanda,” ungkap Rubiyem. Ia menambahkan, wayang beber warisan tersebut merupakan upah ketika leluhurnya buruh atau bekerja menumbuk padi, karena takut jika diberi bayaran berupa harta benda akan dibegal (rampok).
Pada saat Geger Pecinan diyakini hanya ada dua yang mampu diselamatkan, satu di Pacitan dan satu Gunungkidul. Namun, Wisto berpendapat lain, sebenarnya di Padukuhan Gelaran terdapat dua kotak wayang, tetapi yang satu isinya kosong,
Kini, wayang beber hanya dimainkan pada saat-saat tertentu saja. Semisal pada saat tradisi rasulan, atau diminta pentas oleh kalangan tertentu, serta ketika diminta oleh instansi terkait seperti Dinas Kebudayaan baik tingkat Kabupaten maupun DIY.
Wayang beber telah terkenal baik di dalam negeri hingga manca negara. Para pecinta kebudayaan, peneliti, maupun lembaga yang berkepentingan atau bergerak dibidang sejarah telah mengunjungi untuk melakukan penelitian, peliputan, dan untuk menyaksikan pertunjukkannya secara langsung. (Kandar/Bara)
Sumber : Kabar Handayani
No comments:
Post a Comment