KARANGMOJO,
kabarhandayani – Gejog lesung
yang mulai punah kini menjadi sebuah kesenian yang terus diupayakan untuk
dilestarikan, salah satu upayanya dengan ditampilkan dalam berbagai acara. Alu
yang dipukul-pukulkan pada lesung menimbulkan bunyi yang berbeda antara satu
dan lainnya sehingga tercipta perpaduan suara yang unik dan menarik.
Kesenian ini muncul
sejak zaman dahulu di mana ibu-ibu masih menumbuk padi menggunakan lesung dan
alu. Lesung adalah wadah atau tempat menumbuk padi sedangkan gejog berarti
memukul atau menumbuk.
Seiring
perkembangan zaman, menumbuk padi sudah banyak ditinggalkan sehingga kebiasaan
menumbuk padi menjadi kegiatan yang langka. Menurut Suyati, ketua grup kesenian
Gejog Lesung Lumintu yang ada di Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo,
Gunungkidul, tradisi semacam ini harus dilestarikan.
“Gejog lesung ini
saya pelajari dari simbah. Pada zaman simbah dulu, setiap menumbuk padi selalu
beramai-ramai menggunakan lesung dan alu. Sesuai irama hati, tumbukan alu pada
lesung dapat menghasilkan suara-suara yang unik dan dapat menghibur. Lha
hiburan seperti ini yang harus kita uri-uri (lestarikan),” ungkapnya kemarin
(2/8/2014).
Lanjut Suyati,
gejog lesung juga merupakan alat komunikasi masyarakat komunal, warga akan
berkumpul saat lesung dibunyikan ketika ada hajatan. Setiap terdengar suara alu
yang dipukulkan pada lesung dari satu orang saja, maka orang-orang akan
berduyun-duyun mendatanginya. Dewasa ini, kebiasaan gejog lesung di jaman dulu
berubah menjadi kesenian yang terus dikreasikan oleh para pelaku seni.
Dalam acara
pementasan, kesenian gejog lesung dimainkan oleh sekelompok ibu-ibu. Biasanya 6
orang menjadi penabuh dan lainnya menjadi wiraswara atau penyanyi. Perpaduan
irama dari alu dan lesung tersebut mengiringi lagu-lagu tradisional yang
dilantunkan para wiraswara sembari berlenggak-lenggok menari membawa tambir.
Berdasarkan data
yang tercatat dalam Ensiklopedi Gunungkidul, menurut data Gunungkidul dalam
angka 2012, ada 27 grup kesenian gejog lesug di Gunungkidul. Grup terbanyak
terdapat di kecamatan Panggang yakni sejumlah 5 kelompok.
Suyati berharap
kepada anak-anak muda agar terus menjaga kesenian nenek moyangnya. “Semoga ada
anak-anak muda yang meneruskan untuk mempelajari dan nguri-uri tradisi ini
karena rata-rata pemainnya sudah ibu-ibu,” pungkas Suyati.(Mutiya/Hfs)
Sumber : Kabar Handayani
Sumber : Kabar Handayani
No comments:
Post a Comment